bu, aku ingin mati.

whilerainfalls
4 min readJul 14, 2023

--

⚠️ trigger warning: suicide, depression

pinterest

“Bu, aku ingin mati.”

Aku menatap Ibuku yang tengah sibuk mencuci piring. Dia bergeming—seperti membeku— dengan satu tangan memegang piring yang baru setengah digosok menggunakan spons yang berada di tangan yang lainnya.

Ibu kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya keras-keras. Ia menaruh piring dan spons di westafel, mencuci tangannya dan dalam hitungan lima, ia pasti akan berkacak pinggang.

Benar saja. Ibu berkacak pinggang menatapku, lengkap dengan senyum sinis khas seorang ibu yang tengah kesal kepada anaknya yang baru saja melakukan hal bodoh. Ibu bersiap menyerang dengan senjata celotehan panjang.

Aku tersenyum, sudah siap dengan serangan yang akan dilemparkan ibu.

“Silakan saja,” katanya.

Aku mengangkat alis, oh sepertinya aku langsung menang tanpa harus berperang, batinku. Baiknya dengan terjun atau membiarkan racun ular mengalir di darahku, ya? lanjut isi kepalaku.

“Yang benar?” kataku, mencibir.

“Silakan saja, jika mayatmu bisa berjalan sendiri ke kuburan dan mengurusi semua acara pemakaman.” Ibu menghela napas lagi. Kali ini terdengar lebih berat.

Ups, dugaanku ternyata salah. Tidak semudah itu ternyata.

“Hidup susah, mati pun sulit.” Aku bersandar ke tembok, tersenyum kecil menatap langit-langit dapur.

“Justru itu, hidup sudah susah, mati jangan menyusahkan orang lain. Toh, tanpa kau inginkan, kematian itu akan mendatangimu dengan sendirinya.” Suara Ibu terdengar melunak. Ia juga menurunkan tangan dari pinggangnya.

“Kapan, ya?” Kataku.

“Jika sudah waktunya.” Ibu mengambil piring dari rak dan membuka rice cooker. Ia menyendok nasi beberapa centong.

Aku memperhatikan gerak-gerik ibu beberapa saat sambil memikirkan kata-kata untuk meyakinkannya kalau anaknya sudah sangat siap menjemput kematian.

“Aku sudah siap padahal,” akhirnya aku hanya mampu mengucapkan kalimat itu, sambil nyengir.

“Memang kau pikir, dengan mati sudah selesai begitu saja? Hei, hidupmu masih panjang di alam baka. Bodoh sekali.” Ibu meletakkan sepiring nasi, lengkap dengan lauk dan sayur di meja makan yang terletak di sebelahku. Ia kemudian duduk, menghadap ke arahku.

Ibu menatapku dengan tatapan seperti orang yang sudah kehabisan kata-kata. Aku mengalihkan pandanganku dari wajah ibu.

Sial, aku tidak bisa menatap wajah itu. Wajah penuh harapan dan binar itu selalu membuatku merasa semakin tidak berguna.

“Aku—aku kelelahan, Bu,” ujarku akhirnya. Tidak lagi berpura-pura tegar. Aku merasa suaraku bergetar.

Benar, sepertinya sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa berperang dengan Ibu — apalagi memenangkan peperangannya. Wajah hangatnya seperti memadamkan api yang berkobar di dadaku.

“Semua orang lelah, Naina. Tapi hidup adalah hidup, yang terus berjalan dan harus dijalani. Tidak peduli kau lelah atau tidak.” Entah mengapa suara Ibu terdengar lebih lembut, walau agak serak dan ada sedikit getar pada nada suaranya.

“Aku merasa—aku merasa sudah tidak lagi mampu berjalan.” Aku menutup wajah. Parah sekali, mataku tiba-tiba panas dan air mata sialan ini meluncur begitu saja di pipiku tanpa kompromi.

“Siapa bilang kau harus berjalan, Naina? Merangkak juga tidak apa-apa asal tetap bergerak. Hidup saja untuk dirimu sendiri. Jangan memikirkan Ibu, jangan memikirkan teman-temanmu. Kalau kau sudah benar-benar kelelahan, ambil langkah untuk beristirahat dan beri jeda dari hiruk pikuk dunia, bukan dengan mengakhiri hidup.” Ibu berhenti sejenak untuk mengatur napas, kemudian ia melanjutkan, “Ibu tidak pernah memaksamu untuk melakukan hal-hal besar. Hidup saja sudah cukup.” Air mata mengalir pula di pipi Ibu, namun ia berusaha untuk tetap tegar.

Aku sering bertanya-tanya, mengapa Ibu selalu sok kuat begitu? Padahal tidak apa-apa juga terlihat lemah. Toh, manusia memang lemah, kan?

“Tetapi kau selalu berharap padaku, Ibu. Mulutmu berbicara tidak, tetapi matamu berkata benar. Sedangkan aku tidak mampu menjadi seperti apa yang ada di dalam kepalamu. Aku tidak bisa. Aku merasa tidak berguna, payah, dan hanya menjadi beban hidupmu.” Aku merosot jatuh ke lantai, refleks memeluk lutut dan menenggelamkan wajah di tangan yang bertumpu pada lutut.

Ibu turun dari kursi perlahan dan mendekatiku. Ia mengusap kepalaku dengan jemarinya yang dingin tetapi penuh kehangatan.

“Maafkan Ibu karena tidak bisa mengerti perasaanmu, Naina. Maafkan Ibu karena memberatkan pundakmu. Ibu tidak bermaksud seperti itu. Ibu hanya berharap dan sangat ingin kau tidak menyerah dengan kehidupan yang berat ini. Karena — karena ada yang lebih berat setelah kematian. Berjuanglah hingga akhir, hingga kematian benar-benar menginginkanmu. Hiduplah dengan baik. Soal pengharapan orang lain—pengharapan ibu, itu bukan tanggung jawabmu. Tanggung jawabmu adalah dirimu sendiri...” Suara Ibu tercekat. Ia kembali mengatur napas, mengalahkan tangisan yang membuat sesenggukan.

“Jangan dulu mati. Nikmatilah matahari pagi atau sarapan yang tidak enak ini.” Ia tertawa kecil setelah mengucapkan kalimat terakhir sambil menyodorkan piring yang berisi nasi tadi.

Aku tertawa dalam hati, mengingat masakan Ibu yang akhir-akhir ini seperti tidak dibumbui. Beberapa hari lalu aku memprotesnya. Walaupun begitu, rasa masakan Ibu tidak kunjung membaik.

Mungkin sebenarnya dia juga sedang kacau, namun harus tetap menyajikan makanan. Mungkin sebenarnya ia juga sudah muak. Mungkin sebenarnya ia pun sama lelahnya.

Aku tertawa kecil setelah menghela napas. Kuangkat wajahku yang sembab, “Sepertinya, aku sudah kelewatan, ya? Sampai membuatmu menangis begini.”

Ibu memelukku, “kau memang keterlaluan,” katanya.

Aku memejamkan mata. Pelukan ibu hangat. Sudah lama ia tidak memelukku. Sudah lama ia tidak menasihatiku seperti tadi. Sudah lama aku dan Ibu menjelma menjadi orang asing dalam rumah yang semakin lama semakin dingin.

“Aku menyayangimu, Nak. Berjanjilah padaku, jangan pernah menyerah. Jangan membunuh dirimu sendiri. Kaulah satu-satunya penerang Ibu. Ibu percaya kau akan berbahagia suatu hari nanti. Kau berhak untuk itu. Jika tidak di dunia, kau berhak berbahagia di dalam surga-Nya, asal kau hidup dengan baik.”

Asal kau hidup dengan baik, katanya.

Baiklah, Bu. Sepertinya aku akan membuat sebuah upacara perjanjian dengan tarian penerimaan. Aku harus memastikan penerangmu tetap terang — dan hidup.

Jika kau percaya suatu hari aku akan meraih bahagia, apa lagi yang membuatku sangsi?

Dan mulai hari ini, aku tidak lagi ingin mati.

--

--

whilerainfalls
whilerainfalls

Responses (2)