percakapan yang lalu-lalu
“Aku merindukanmu, menurutmu bagaimana?” Violet bersandar di tembok. Di sampingnya, seorang laki-laki tengah merokok dengan kaki berayun-ayun. Angin musim panas berhembus lembut. Bulan perbendar hangat, menuangkan cahaya keperakan yang indah ke bumi. Malam yang terlalu menyenangkan untuk dua orang yang pernah menjalin kasih sayang, tidak sengaja bertemu di jalanan.
“Ya sudah, lakukan saja. Jika kamu merindukanku, rindu saja. Atau bahkan, jika kamu ingin mencintai orang lain, cintailah. Lakukan saja apa yang ada di dalam kepalamu.” Laki-laki itu, Leo, menjawab dengan serius.
“Kalau aku mau mati?” ujar Violet, ia tertawa.
“Jangan bodoh. Malaikat akan tertawa jika kamu bunuh diri hanya karena perkara putus cinta.” Leo menatap Violet sekilas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lalu turut bersandar di tembok.
“Katamu, lakukan saja apa yang ada di dalam kepalaku.”
“Iya, jika hal itu baik untukmu. Jika tidak, ya, jangan.”
Violet terkekeh, “merindukanmu sebenarnya juga bukan hal baik, kan?” Violet menatap Leo dalam-dalam, namun Leo mengindari mata Violet dengan terus menatap lurus ke depan.
“Tidak tahu. Kan kamu sendiri yang bisa menilai apakah itu baik atau buruk. Buatku, tidak ada salahnya merindukan seseorang yang pernah menyakitimu.”
Angin berhembus lagi. Menggugurkan satu dua daun di pepohonan, namun tidak nampak karena kegelapan malam.
“Yeah, kamu benar. Kita bisa merindukan siapa saja.” ujar Violet kemudian. Entah mengapa, ia seperti gemetar. Mungkin Violet takut. Atau kaget. Atau angin memang sebenarnya terlalu kencang sehingga membuatnya nyaris jatuh dari ketinggian, sebab tempat yang sekarang ia duduki hanyalah sebuah celah sempit di atap sebuah gedung sekolahan.
“Benar. Lagipula, tidak perlu jatuh cinta dulu untuk bisa merindu.”
Violet tersenyum simpul, “masa?” katanya.
“Menurutku begitu.”
“Kalau aku tidak setuju?”
“Itu, sih, urusanmu.”
Violet tertawa, begitu pula Leo.
“Apa kamu pernah merindukanku?” di akhir tawanya, Violet tiba-tiba bertanya.
“Sesekali. Memikirkan tentangmu, tentang Saphira.”
“Kalau tentangku saja, pernah?”
Tidak ada jawaban dari Leo. Ia sibuk merokok. Menyesap batang beracun itu dan menyebarkan racunnya kepada dunia.
Dalam keheningannya, Violet tidak memaksa supaya jawaban tersaji di hadapannya. Tidak. Ia tidak perlu jawaban. Karena jawaban agaknya sudah terkalungkan di leher Leo sejak lama sehingga Violet hanya cukup membacanya tanpa perlu repot-repot menelan jawaban yang disajikan oleh Leo.