i love you, but i’ll never be her

whilerainfalls
4 min readJan 14, 2023

--

photo by pinterest

Seorang gadis berambut pirang menaikkan kaki dan memiringkan kepalanya, menoleh kepada seorang lelaki bermata tajam yang tengah minum soda. Mereka berdua duduk di sebuah kursi panjang yang ada di tepi danau. Gadis itu memeluk kakinya erat-erat, menyangga kepalanya itu di atas sebuah lutut.

“Jadi, apakah kau sudah berhasil mendapatkan Sydney?”

Laki-laki itu tergelak, “entahlah, aku belum siap untuk memulai. Aku ingin menunggu momen yang pas.”

Gadis berambut pirang itu meluruskan kakinya dan menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, “mana sempat. Ia akan lebih dahulu diambil orang lain.”

Laki-laki bermata tajam itu meminum sodanya lagi. Ia turut menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Meregangkan kaki-kakinya. Tatapannya menerawang jauh menembus birunya langit.

“Mengapa jadi kamu yang pesimis begitu?” ujarnya sambil tertawa.

Gadis berambut pirang itu memejamkan matanya sambil nyengir, “hei, aku hanya memperingatimu.”

“Tenang saja, seorang Nat selalu bisa mendapatkan apa yang dia mau. Termasuk seorang Sydney. Pasti aku akan mendapatkannya, lihat saja.”

“Ya.. ya, terserah saja,” ujar si Gadis Pirang. Ada jeda beberapa saat di antara mereka sebelum akhirnya Sang Lelaki angkat bicara kembali,

“Bagaimana menurutmu?” kata Laki-laki itu.

“Bagaimana apa?” tanya si Gadis Pirang tak mengerti.

“Tentang Syd. Aku ingin tahu pendapatmu tentang Sydney.”

“Dia gadis yang baik.”

Lelaki itu tergelak lagi, dan berkata dengan nada yang bersemangat. “Tentu saja,” katanya, “aku memang mudah jatuh cinta, namun aku sangat pemilih. Aku setuju denganmu. Syd gadis yang baik, oleh karena itu, aku menjatuhkan hati padanya.”

“Apa sebabnya kau sangat menginginkan Syd? Tidak mungkin kan, hanya sebatas Syd gadis yang baik. Ada banyak gadis baik di kota ini.”

“Hmm..” Lelaki bernama Nat itu berpikir sejenak, “mungkin karena, aku melihat Syd bisa membimbingku–maksudku, Sydney sangat dewasa. Dia selalu bekerja keras, mandiri, dan tidak pernah menyerah pada kehidupan. Kabarnya dia tinggal sebatang kara di kota ini dan aku tidak pernah melihatnya murung atau mengeluh. Dia juga berprestasi. Aku sangat bangga padanya. Perempuan yang ideal untukku, bukan?”

Gadis pirang itu menegakkan duduknya, ia menghembuskan napas panjang, “yeah, kurasa,” ujarnya. Setelah beberapa saat, Gadis Pirang itu kemudian bangkit dari duduknya dan memakai kupluk hoodie yang ia kenakan, membiarkan sebagian rambut pirangnya manutupi wajahnya. “Baiklah Nat, aku harus pergi menjemput Summer sekarang, atau dia akan marah besar padaku. Sampai jumpa besok di sekolah”

“Baiklah. Sampai jumpa, Lily! Jangan bosan mendengar ceritaku tentang Syd, ya. Kau teman terbaik yang kumiliki!” ujar Nat dengan senyum merekah. Lily hanya terkekeh sambil berlalu.

Gadis Pirang itu–Lily–meninggalkan Nat yang masih duduk menikmati pemandangan danau yang indah dengan Soda yang masih di tangan. Lily menghembuskan napas berat.

Tanpa diketahui Nat, Gadis Pirang itu menangis. Matanya memancarkan luka yang dalam. Tadi ia membiarkan sebagian wajahnya tertutup rambut supaya Nat tidak mengetahui dia menangis. Nat jelas tidak akan menyadarinya karena pemuda itu tidak pernah memandang dirinya. Mungkin bagi Nat, Lily hanyalah hantu yang hidup di bawah bayang-bayang gadis bernama Sydney. Gadis yang Nat cintai.

Lily berjalan menyusuri jalanan yang lengang menuju sebuah halte yang tidak jauh dari danau. Ketika bus datang, Ia pun naik dan duduk di bangku paling belakang dekat jendela, kemudian memasang headphone. Mendengarkan lagu adalah cara ampuh untuk Lily mengusir sedih di hatinya. Namun, sepertinya kali ini, lagu yang ia dengarkan tidak dapat membantu banyak. Kepalanya terasa penuh, hatinya terlampau sakit. Lily menatap jalanan, pikirannya menerawang jauh.

Sebenarnya, ia bukan ingin menjemput Summer. Ia hanya ingin menjauh dari Nat, sumber kesedihannya. Kesedihan yang selalu ia nikmati hingga tidak lagi terasa sedih. Lily mencintai Nat, tentu saja. Namun, suaranya tidak pernah bisa didengar oleh Nat. Saat berbicara dengan Nat, Lily merasa kepalanya berada di bawah air. Perasaan Lily hanya menggantung di udara kosong, tidak akan pernah sampai pada Nat.

Karena Nat menginginkan Syd. Pikirnya. Syd yang Nat mau. Hanya Sydney. Syd seorang.

Tidak pernah Lily. Lily yang selalu menemani Nat, apa pun kondisi Nat. Lily yang tidak pernah mengeluh. Lily yang selalu mendengarkan Nat. Lily yang memberikan seluruh tenaganya untuk Nat namun Syd yang mendapatkan hati Nat.

Lily menangis. Ia tidak bisa menahannya lebih lama. Lantas, Gadis Pirang itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Membiarkan kesedihannya membuncah ruah.

Ayolah Nat. Lihat aku, sekali saja. Percaya padaku, sekali saja. Bisik Lily dalam hati.

Tetapi tidak. Tidak akan pernah Nat melihat ke arah Lily. Sejak Lily mengenal Nat, Lily tahu bawa pemuda itu tidak tertarik dengannya–tidak tertarik untuk menjalin sebuah hubungan khusus. Nat hanya menganggap Lily sebagai teman, tidak lebih.

Lily memejamkan matanya. Itulah cara Lily membiarkan pikirannya terbuka dan melayang-layang di atas kepalanya. Can i be her? sebuah kalimat membuat Lily tersenyum getir. Menyusul kalimat-kalimat yang tak kalah menyakitkannya.

Bisakah aku menjadi orang yang kau cintai, Nat?

Bisakah kau melihatku? mendengar suaraku?

Bisakah gadis itu adalah aku, Nat?

Tapi Lily tahu. Sangat tahu, apa jawaban atas pertanyaan yang ia lemparkan sendiri. Tidak perlu dicari karena jawaban itu sudah ada, bahkan sebelum pertanyaan itu ada. Lily menahan napas beberapa saat dan menghembuskannya pelan-pelan untuk mengurangi nyeri yang menyerang dadanya

You’ll never be her, Lily. Never.

--

--

whilerainfalls
whilerainfalls

Responses (1)