tanda tanya

whilerainfalls
6 min readFeb 11, 2023

--

“Kadang, aku tidak tahu ingin berbuat apa." Hillary merebahkan dirinya di atas rumput.

Seorang pemuda dengan wajah tenang tersenyum simpul, pemuda itu menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon ek besar kemudian berkata, "tidak perlu berbuat apa-apa."

“Tetapi terkadang aku merasa—kau tahu— menjadi beban untuk keluargaku." Hillary menghempaskan napas panjang demi membuat paru-parunya terasa lebih ringan. Namun nihil, paru-parunya tetap saja terasa sesak.

"Itu hanya ada dikepalamu. Keluargamu tidak pernah menganggapmu beban, Hillary. Kau sudah menjadi gadis yang cukup baik. Semua pikiran buruk itu hanya ada di kepalamu."

Angin musim panas berembus semilir. Awan seputih kapas menggantung di langit. Menurut Hillary, pasti nyaman sekali bisa memejamkan mata di sana. Ia membayangkan awan-awan itu seperti busa halus yang menyenangkan dan tentu saja bisa membuat tidurnya nyenyak.

"Kau pun sudah bekerja cukup keras untuk membantu keluargamu," tambah pemuda itu.

"Tetapi aku tidak merasa begitu," tukas Hillary.

"Karena kau selalu merendah—mungkin." Max mengendikkan bahunya.

"Begitu, ya." Hillary berhenti sejenak, ia seperti memikirkan sesuatu yang mengganggunya namun ragu-ragu ingin mengungkapkan. Lagi-lagi Hillary hanya menghela napas, kali ini lebih panjang.

Keheningan mengitari mereka. Hillary dan Max sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, tenggelam dalam harumnya bau rumput dan cahaya matahari. Keheningan yang ramai, karena hati keduanya penuh harapan-harapan yang tak pernah dikatakan. Keheningan yang menyenangkan karena membuat pemahaman lebih mudah di dapatkan.

“Apa kau pernah merasa hatimu hampa, Max? Maksudku, kau tidak merasa senang, tidak pula merasa sedih. Benar-benar tidak tahu apa yang kau rasakan." Hillary memecah keheningan di antara mereka.

"Akhir-akhir ini—terkadang— aku merasa begitu, tetapi dengan sedikit rasa syukur, aku bisa merasakan sebuah kebahagiaan kecil—kecil sekali, tetapi cukup membuatku tenang, meski tanpa senang."

“Apa maksudmu tanpa senang?”

“Aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya padamu, tapi rasanya seperti; dengan begini saja sudah cukup, aku tidak ingin apa-apa lagi, seperti itulah kira-kira."

“Memangnya kau tidak ingin senang?" Hillary memandang seekor burung yang terbang tinggi, yang sepertinya sedang mencari makanan untuk anaknya atau sedang mencari tempat tinggal baru.

"Tidak ada manusia yang tidak ingin senang, Hillary. Tetapi untuk sekarang, tenang lebih penting bagiku daripada sebuah kesenangan tanpa ketenangan."

"Memangnya ada, ya, kesenangan tanpa ketenangan?" Hillary mengernyit. Max mengerutkan dahinya, tampak berpikir.

"Ada, Hillary. Seperti; kesenangan dalam kebohongan, kesenangan sementara, kesenangan karena pengharapan kepada orang lain."

Hillary menggut-manggut, mengerti dengan jawaban Max. Walaupun sebenarnya ia masih memiliki segudang pertanyaan lain tentang tenang dan senang, Hillary memilih menahan pertanyaan itu untuk tidak keluar dari mulutnya atau Max akan merasa muak karena pertanyaan darinya seperti tidak ada ujungnya. Hillary merutuk isi kepalanya yang aneh itu.

"Dan, apakah kau punya mimpi?" Hillary meluncurkan pertanyaan dengan topik berbeda untuk kembali menyegarkan pikiran Max dari pertanyaan Hillary sebelumnya. Gadis itu memandangi langit yang cerah dengan kepala yang masih sama beratnya.

Terkadang Hillary merasa, ia ingin sekali menghilangkan kepalanya itu, tetapi nanti akan tampak seram jika ia hidup tanpa kepala. Jadi, ia membiarkan kepalanya tetap berada di tempatnya dan terus belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi.

Di sisi lain, Max mengangkat tangannya, membuat gerakan seolah-olah ingin meraih awan-awan yang berarak. Ia menangkapnya dengan semangat dan membuka genggamannya yang kosong.

"Dulu punya, sekarang pun masih tersisa sedikit. Tetapi entahlah, semenjak ibuku sakit, aku harus lebih giat membantunya dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk itu."

"Pasti menyenangkan, ya, seseorang yang memiliki mimpi."

"Menyenangkan ketika kau membayangkannya, tetapi ketika kau sadar dimana kau berada, kau akan nelangsa." Max tertawa kecil.

"Setidaknya kau memilikinya," ungkap Hillary, tersenyum tipis, kemudian ia menolehkan kepalanya ke arah Max yang berada sedikit di atasnya, "omong-omong, apa mimpimu itu?" katanya.

"Menjadi seorang Dokter." Max menjawab tanpa semangat, kemudian ia melanjutkan, "aku menerima beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena prestasiku semasa menengah atas, tetapi aku tidak bisa pergi ke kota karena kesehatan ibuku terus memburuk. Ibu menyuruhku untuk tetap pergi demi aku dapat meraih mimpi yang terus kugaungkan itu, tetapi tentu saja aku tidak melakukannya. Anak mana yang akan tega meninggalkan ibunya seorang diri dengan kondisi sakit di sebuah desa tanpa saudara? Tapi, Hillary, jika aku boleh jujur padamu, terkadang aku masih memiliki sepucuk harapan karena masih ada api kecil menyala di dalam hatiku."

"Dalam meraih impianmu untuk menjadi dokter?"

Max tidak menjawab, ia menatap sedih hamparan langit biru, namun ia berusaha menyembunyikannya dengan tersenyum tulus, setulus hatinya yang bertekad ingin merawat ibunya. Wajahnya yang sendu perlahan kembali menghangat karena sapuan angin yang ramah.

"Tidak apa-apa Max. Cukup terus percaya bahwa cahaya terang akan datang menerangi jalanmu dalam gelapnya malam. Bagiku kau sudah menjadi dokter. Dokter untuk ibumu," kata Hillary dengan bijak. Ia memejamkan matanya, merasa lega karena sudah berhasil mengucapkan sebuah kalimat bijak untuk teman yang baru dikenalnya beberapa minggu itu.

"Terima kasih telah menghiburku, Hillary."

"Tidak ada maaf dan terima kasih dalam persahabatan, Max."

Bagi max, Hillary adalah gadis ceria dengan kepala penuh sesak. Bertemu Hillary awalnya adalah sebuah malapetaka karena Max merasa Hillary mengganggu ketenangannya dengan segala pertanyaan dan ocehannya. Namun Max merasa, semenjak menanggapi pertanyaan-pertanyaan Hillary, ia menjadi lebih mengenal dirinya sendiri. Ia menjadi tahu apa yang ia mau. Dan ia lebih mengerti apa yang harus ingin lakukan. Sebab itulah ia menerima berkawan dengan Hillary, mendengar ocehannya dan menjawab pertanyaan gadis itu dengan sebaik yang ia bisa.

Hingga suatu hari, Max harus kembali menelan pil pahit yang diberikan oleh hidup. Tidak hanya mimpinya yang harus ia relakan, kini Max pun harus merelakan Sang Ibu yang kembali pada kehidupan seharusnya. Kehidupan sejati. Ibu Max meninggal tepat ketika pemuda itu hendak merayakan ulang tahun.

Hillary meremas tangan Max erat-erat ketika peti mati mulai di turunkan. Max tidak menangis, namun kesedihan mendalam tergambar jelas di wajahnya. Orang-orang menaruh simpati pada anak yang kini telah menjadi yatim piatu itu. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat turut berduka cita dan mengusap punggung Max untuk menguatkannya yang kini sedang rapuh.

Satu persatu orang meninggalkan pemakaman, menyisakan Max dan Hillary yang masih mematung di samping makam Ibu Max. Tepat ketika orang terakhir meninggalkan pemakaman Sang Ibu, hujan turun seakan langit menyampaikan kesedihannya untuk Max.

Hillary menengadah ke langit, membiarkan air hujan membuat dirinya basah sedangkan Max merasa bersyukur karena pada akhirnya ia menangis tanpa harus terlihat mengeluarkan air mata.

"Langit juga turut bersedih atas kesedihanmu, Max"

"Aku sungguh tidak apa-apa, Hillary." ucap Max, berbohong, tentu saja.

Hillary menangkap getar pada suara Max. Ia mengalihkan pandangannya ke wajah Max.

"Kau tentu sedang tidak baik-baik saja, Max. Mana ada seorang anak merasa baik-baik saja setelah kehilangan Sang Ibu?"

Setelah agak lama menahan sesak didadanya yang menyakitkan, tangis Max meledak, kakinya mendadak lemas, ia terkulai di samping makam Ibunya. Dengan perlahan, Hillary memeluk Max, mencoba membuat pemuda itu tetap tenang. Perempuan itu turut menangis, merasakan bagian kesedihan yang didapatkannya.

“Tidak apa-apa, Max. Sungguh, menangislah. Tidak apa-apa."

"Hidup sungguh tidak adil, Hillary. Ia merenggut semuanya dariku."

Hillary dengan tegar mendengarkan Max yang putus asa, mengabaikan kepalanya yang hampir meledak dipenuhi banyak-banyak pertanyaan. Pertanyaan yang pasti akan ia tanyakan jika saja pemuda itu tidak sedang bersedih dan merasakan kehancuran.

"Hidup sungguh tidak adil, Hillary."

"Tidak, Max. Milikmu tidak semuanya direnggut hidup. Kau masih memiliki dirimu sendiri dan juga aku, temanmu."

Ketenangan yang biasa menghiasi wajah pemuda itu kini berubah menjadi kesedihan yang tak bisa digambarkan oleh pena mana pun. Sakit yang dirasakan Max pun turut dirasakan orang yang kini tengah memeluknya. Gadis itu merasakan sakit hingga ke tulangnya pula. Suara tangisan Max membuat Hillary sesak.

Aku juga tidak tahu, Max, apakah hidup ini adil atau tidak. Aku juga tidak tahu mengapa hidup begitu tega padamu. Aku tidak tahu mengapa harus kau? Bukankah selama ini kau selalu menuruti apa yang hidup mau? Bukankah kau tidak pernah sehari pun merutuki hidup? Bukankah kau cukup tenang menerima segala kepahitan yang ditorehkan oleh hidup? Mengapa semua itu tidak cukup untuk menebus ketenangan-ketenangan dan kesenangan-kesenangan itu? Mengapa hidup begitu tega padamu? Apakah kebahagiaan itu benar adanya atau hanya omong kosong belaka, Max?

pinterest

Hillary hanya mempu mengucapkan segala pertanyaan yang memadati kepalanya dalam hati. Hanya dalam hati.

--

--

whilerainfalls
whilerainfalls

No responses yet