terlalu banyak kerinduan yang tak bisa dimuarakan.

whilerainfalls
2 min readMar 17, 2023

--

Bulan termenung di depan sebuah rumah yang dinding-dindingnya nyaris tertutup tanaman liar. Halamannya pun ditumbuhi ilalang tinggi-tinggi. Dengan latar belakang langit biru dan hijaunya pepohonan tidak membuat rumah itu tampak lebih baik. Rumah itu tetap saja seperti sarang hantu. Pemandangan yang sebenarnya sangat tidak enak untuk dipandang pada siang hari yang cerah itu, karena sesungguhnya lebih baik menghabiskan waktu dengan menikmati cahaya mentari di tepi pantai atau dengan berpiknik ria di taman daripada hanya berdiri di depan sebuah rumah tua yang sepertinya sudah tidak bisa lagi disebut rumah.

Senyum sedih terlukis pada wajah Bulan. Kerinduan tampak dari matanya yang sayu. Namun, sebenarnya Bulan sendiri tidak tahu apa — atau siapa yang ia rindukan. Apakah rumah di hadapannya itu atau rumah yang lain.

Hanya saja, dada Bulan terasa sesak. Sepertinya akibat kerinduan yang sudah menggenang di sana karena tak bisa lagi ia muarakan. Terlalu banyak kasih sayang yang terbakar keegoisan. Habis sudah, tidak lagi bersisa.

Perempuan berambut kemerahan itu masih setia berdiri di depan rumah tua itu dengan wajahnya yang sendu, sampai ketika seorang lelaki bertubuh jangkung datang, kemudian berdiri di sampingnya, turut menatap ke arah rumah tua.

“Selamat atas kelulusanmu.” Lelaki itu tersenyum tulus tanpa mengalihkan pandangannya dari rumah tua. Bulan terlihat meremas ujung kemeja birunya.

“Kenapa baru kembali?”

“Kau pasti tahu apa jawabanku.” Lelaki itu tertawa kecil. Ia kemudian berbicara lagi, “kau tahu, Bulan, selumbari aku berkunjung ke plaza yang ada di pusat kota. Kau pasti ingat, di sana ada tempat dimana kau bisa menghabiskan waktumu dengan memainkan berbagai macam permainan. Bowling, arcade games, dance..” Lelaki jangkung itu berhenti sejenak, ia melanjutkan lagi, “aku mengunjungi tempat itu, sendirian. Kucoba seluruh permainan—seluruhnya. Ternyata sangat mengasyikan, ya? Aku menyesal mengapa dulu aku menolak saat kau ajak pergi ke sana. Agaknya akan jauh lebih mengasyikkan jika kita bisa memainkannya bersama-sama.”

Angin meniup rambut panjang Bulan, sementara perempuan itu sedang bertengkar dengan dirinya sendiri. Ia memaksa bahwa jangan sampai ada air mata yang tumpah. Jangan. Tidak boleh. Ia tidak boleh menangis.

“Mengapa?” Setelah puas bertengkar dengan dirinya sendiri, Bulan bersuara. Suaranya terdengar gemetar, tentu saja. Ia menahan diri supaya tidak menumpahkan emosinya di hadapan laki-laki yang tidak lagi pernah muncul di hadapannya satu tahun belakangan.

“Karena aku merindukanmu.”

Bulan bergeming. Air matanya mengalir begitu saja tanpa kompromi. Sialan, pikirnya. Ia kalah.

“Kau hanya membesarkan hatiku, Bum. Jika rinduku bermuara padamu, kau pasti tidak akan pernah memilih Matahari untuk mengiringi perjalananmu.”

--

--